Tempo hari seorang teman menghubungiku karena ia gagal kesekian kali dalam proses menemukan pasangan hidup. Ia mengira bahwa sosok yang sekarang ia perjuangkan adalah sosok terakhir yang akan menggenapinya. Usianya yang tak lagi remaja, membuat ia cukup memikirkan dengan keras tentang waktu dan momen menikah. Wajar jika pernikahan merupakan hal yang ditunggu. Tetapi, kata Tuhan, jawabannya masih belum sekarang. Ia masih bertemu dengan orang yang tidak tepat.
Bulan lalu, seorang teman lainnya lagi akhirnya memutuskan hubungan tidak jelasnya dengan seorang laki-laki yang terlalu berbelit-belit untuk segera menikah. Ia kira sosok itu yang terakhir untuknya. Namun, ternyata komitmen pernikahan bukan menjadi prioritas laki-laki itu sekarang. Mungkin, kali ini laki-laki itu bukan orang yang tepat (lagi). Kesabaran demi kesabaran ia pupuk untuk menunggu keberanian laki-laki itu menawarkan komitmen, sampai ia beranikan diri untuk menanyakan langsung perihal orientasi hubungannya di masa depan. Namun, nihil.
Kemarin, seorang sahabat menceritakan tentang rasa syukurnya menemukan pasangannya yang sekarang. Rasa syukur itu justru baru ia benar-benar rasakan saat pernikahan menginjak tahun ketiga. Di awal pernikahan, ia bahkan sempat jetlag dan mengalami sindrom post wedding blues. Ia tidak menemukan kecocokan karakter dan merasa ragu apakah suaminya adalah pasangan terbaik yang memang ditakdirkan. Namun, sekarang ini justru ia menyadari betapa pasangannya adalah pasangan terbaik setelah beberapa laki-laki yang tidak tepat datang sebelumnya.
Kabar buruknya, gagal dan menemukan ketidaktepatan memberi rasa sedih. Tidak jarang rasa itu membuat kita gelap melihat jalan di depan. Di tengah harap yang semakin kuat, namun cahaya belum nampak ada di depan. Namun, berkali-kali kita disadarkan bahwa gagal dalam proses itu lebih baik daripada gagal setelah menikah. Sedikit melegakan. Tetapi, sungguh tidak menghilangkan sedih dan kecewa yang dirasakan.
Kabar baiknya, bahkan dalam gagalmu saja, kamu sebenarnya sedang berhasil menemukan pembelajaran penting untuk tidak kamu ulangi di masa depan. Seperti ; tidak perlu menahan orang yang memang tidak mau dipertahankan dan diperjuangkan. Kita tidak perlu menghabiskan waktu untuk orang yang memang tidak menempatkan kita menjadi orang yang patut dipriotitaskan. Kita tidak perlu menginvestasikan waktu untuk orang yang bahkan sedang menuju orang lain. kita perlu membuka mata, bahwa menyudahi dan melepas juga pilihan baik. Meski rela tak semudah diucapkan. Bukan ia yang tepat. Sekali lagi, kita (masih) bertemu dengan yang belum tepat. Jalanlah maju, orang yang tepat ada di depan. Sediakan energi untuk melanjutkan perjalanan. Biarkan dirimu ditemukannya.