“Yang sementara, tak pasti, dan fana ini memang tak untuk digenggam erat-erat. Ia perlu disadari kehadirannya baik-baik, melakukan hal terbaik, kemudian melepaskannya. Iya, ini tentang dunia.” ~dnh
Jika sudah tahu bahwa dunia ini sementara dan tempat mengumpulkan bekal, kenapa masih susah sekali beranjak darinya? Ingin sekali digenggam erat, khawatir sekali untuk tidak mencapai keberhasilan versi manusia-manusia di bumi. Padahal, apa yang kita jalani; menjadi jalan dan bekal untuk kita akhirnya menemui-Nya dengan kondisi terbaik.
Jika sudah tahu ini semua tak pasti dan sementara, mengapa masih saja jalan disini-disini; menempel bantal saat malam-malam sepertiga diberi untuk kita berbicara lebih dalam pada-Nya. Hingga shubuh tiba, barangkali mata ini masih terlelap menjadi harap bahwa lelah kita akan sirna dengan beristirahat lebih panjang. Kita ingin sekali mengejar beresnya tugas di siang hari, hingga lupa bahwa ‘pekerjaan’ merupakan tindakan untuk mengisi waktu antara shalat kita ke shalat lainnya.
Jika sudah tahu bahwa hidup ini begitu pendek dan sementara, mengapa susah sekali melapangkan hati menerima nasihat-nasihat baik untuk menjadi pribadi lebih baik dari hari ini? Diri masih enggan mendengar dan memilih tutup telinga. Alih-alih mendengarkan, kita lebih memilih mendebat jika yang diterima tak masuk logika. Hati masih sering meninggi untuk belajar (lagi). Susah sekali investasi ilmu dan keterampilan sbg komponen pendukung untuk menebar kebaikan di muka bumi.
______
Pesan ini untuk diriku sendiri yang masih sering merasa sempit. Banyak mikirnya daripada melakukan kebaikan. Yang masih merawat khawatir dan takut menghadapi esok hari dan kondisi bumi, daripada berbuat lebih konkrit (lagi). Jika kita sebegitunya bersiap ketika bertemu dengan manusia, mengapa begini-begini saja untuk bertemu dengan-Nya?