Kita pernah melewatkan banyak orang yang hadir silih berganti. Beberapa orang rela menunggu ego kita reda. Sebagian lainnya menyerah dan mengubah arah layar. Sebab, waktu tak menunjukkan kabar baik dan mungkin memang bukan kita orangnya. Semakin mendekat, maka tembok yang kita bangun semakin kuat dan meninggi. Saat itu, mungkin kita sedang tidak mau dihadiri. Kalaupun salah satunya sempat menarik hati, tapi diri tetap teguh mengatakan tidak sekarang ini.
Kita pernah begitu kuat membangun benteng pertahanan diri. Kita tidak siap untuk sekedar membagi mimpi, diintip lebih dalam tentang perjalanan diri. Di titik itu, kita masih nyaman untuk berjalan sendirian. Sesekali membagi cerita, tetapi tidak dengan orang asing yang sengaja datang.
Kita pernah begitu kuat mengejar mimpi. Beberapa tawaran mendekati diri untuk membersamai langkah kita. Namun, kita enggan menerima orang asing datang kesekian kali. Hingga kita dihadapkan pada pertanyaan-pertanyaan yang datang menghampiri: “sampai kapan, Nak? Tak ada satukah dari yang datang mampu kamu percayai?”
Kita diam seribu bahasa. Seperti hujan yang belum tuntas untuk jatuh membasahi bumi, akankah kita memaksa ia reda begitu saja? Penghuni bumi hanya bisa menunggu dan berteduh di teras-teras toko sambil berdoa apa saja. Sambil menunggu, banyak yang saling bertukar cerita, bertukar pikiran, dan apa saja yang dipunya. Kita memang bisa memaksa untuk menerobos hujan, tetapi kita akan basah. Hujan tak akan reda menurut kemauan kita. Barangkali egoku sama kala itu. Seperti hujan yang tak kunjung reda.
Hari terus berlalu, kita tersadar bahwa kita begitu melewatkan banyak orang yang datang. Kali ini, ego kita sudah mereda. Kita kembali menengok jendela, ternyata ada yang tak lelah menunggu kita. Sesekali kita ragu untuk membukakan pintu. Namun, ia tahu tak mudah menunggu orang seperti kita. Bilangan waktu pasti tak mudah baginya melewati pertanyaan-pertanyaan yang menghampirinya. Doanya sepanjang apa? Sabarnya sebesar apa? Tanya kita lirih dalam hati. Perjuangan-perjuangan panjang itu mahal sekali, tapi itu ia lakukan karena yakinnya kepada kita karena pesan Tuhan demikian, katanya.
Akhirnya, ego yang mereda itu mempertemukan kita. “Maaf, lama ya?”, celetukan itu yang keluar pertama kali. Kita tersenyum lega.
Baginya, pelajaran berharga menunggu kita adalah tak ada yang bisa dipaksakan hari ini juga. Semua ada waktunya. Selama yang kita tunggu pantas diperjuangkan dan kita berani memperjuangkan. Bagiku, pelajaran berharga dari ditunggu adalah sadarlah. Saat kita terus melewatkan tanpa menyadari kehadiran orang baik, di sanalah kita sedang mengulur waktu sebuah kebaikan besar. Di mana cinta itu pantas dirayakan. Sebelum kita benar-benar melewatkan tanpa bisa punya kesempatan merayakannya.