Semakin dewasa, kita jadi lebih memahami seni mencukupkan dalam hidup. Kita jadi tahu seberapa besar kita perlu memperjuangkan sesuatu. Barangkali, kita dibilang lebih realistis akan suatu hal yang ingin dicapai. Tak muluk-muluk.
Semakin bertambah usia, kita jadi lebih bisa memberi durasi kesedihan. Seperti patah hati yang sudah berulang kali, membuat kita bisa membatasi diri untuk berapa hari kita akan menangis, mengurung diri, dan tak beranjak kemana-mana. Kita jadi tahu bahwa semua perasaan valid. Sedih itu valid. Sehingga, perlu diakui dan benar adanya. Namun, kita tahu pasti bahwa berlama-lama dalam kesedihan tidak akan membuat hidup kita berkualitas. Waktu akan terus berjalan tanpa toleransi. Jawaban selalu berada di depan. Kita yang harus terus melangkah maju.
Semakin bertambahnya pengalaman, kita tahu batas diri. Ada saatnya kita membiarkan peluang terlewati begitu saja. “itu baik, tetapi tidak untuk dicapai sekarang”. Jiwa oportunis yang sempat membara saat muda, kini lama-lama ada remnya. Kita jadi bisa menakar mana yang perlu dilakukan terlebih dahulu, mana yang harus ditunda untuk kebaikan. Seperti tawaran-tawaran jabatan, kekuasaan, karir, yang kesemua itu ada seninya untuk belajar cukup.
Dunia, membuat kita terus belajar. Bahwa menghadapinya perlu keterampilan orang dewasa yaitu seni mencukupkan. Rasanya, semakin kita belajar, semakin kita mengerti bahwa ketenangan jauh lebih penting daripada pencapaian.