“Setiap manusia di bumi sedang bersama tujuannya masing-masing. Ia belajar memberanikan diri mengambil keputusan, melawan ketakutan dirinya sendiri, hingga memeluk kekhawatirannya masing-masing. Faktanya, untuk menjalani itu semua, manusia diberi waktunya masing-masing. Sehingga bijaknya, kita tak memberi celah diri untuk mengukur proses manusia lainnya. Namun, fokus atas apa yang sedang kita jalani tanpa membandingkan. Agar ketenangan hati menjadi teman.
“Karena keluh dan syukur tidak pernah berada di ruang yang sama. Kamu tidak bisa melakukannya bersamaan. Saat keluhmu banyak, syukur tak bisa terucap, maka gelap akan datang. Saat dirimu mulai bersyukur, keluhmu hilang. Kemudian, terang akan datang.”, mentor memaparkan tentang terapi syukur untuk bisa healing.
Hari itu, 110 peserta didampingi fasilitator melakukan terapi syukur. Aku tetap di pojok kanan depan, menghadap laptop dan fokus menuliskan proses pembelajaran hari itu. Aula tampak tenang karena setiap orang sedang fokus dengan dirinya masing-masing, mengeja satu per satu nikmat yang didapat.
Hingga hujan tiba-tiba datang, di situ aku jadi terlintas sebuah pemikiran jika mungkin nikmat seperti rintik hujan kemudian deras. Terkadang saking banyaknya nikmat yang berjatuhan, kita jadi mengabaikannya. Hingga suatu hari datang sedih, kecewa, gagal, jatuh, sakit, terbentur, dan banyak rasa tidak baik lainnya, kita jadi fokus ke ketidaknyamanan itu. Kemudian, kita lupa akan derasnya nikmat yang kita rasakan, seperti hujan sore ini. Hah… payah. Besok lagi, kita cipta syukur lebih banyak. Agar keluhnya tidak punya tempat duduk. Biar dia berdiri, capek, lalu pergi.